Saturday 12 November 2016

Mengejar Gerbong Terakhir

Hari ini tibalah saatnya untuk meninggalkan kota Jakarta ini, walaupun impian saya untuk menaklukkannya belum tercapai, toh suatu saat aku bisa kembali lagi ke pangkuan ibukota untuk menaklukkan ambisi yang tertunda. Setidaknya yang saya dapatkan empat puluh hari di sini  jauh lebih banyak daripada apa yang saya keluarkan.

Saya mulai mengemas barang-barang yang akan saya bawa nanti, sepertinya sudah tidak ada ruang lagi di dalam kedua tasku ini, terpaksa sebagian yang tidak perlu saya tinggalkan di sini. Kemudian dengan berat hati saya melangkahkan kaki menuju rumah ibu kos untuk menyerahkan kunci. Sementara tiket sudah dibooking jauh hari, jadwalnya pukul 16.00.

Saya mulai berjalan menelusuri aspal ibukota pukul 14.00. Dengan kedua tas yang sangat berat ini saya berjalan kaki ditemani teriknya mentari menuju halte terdekat di mampang prapatan, jaraknya hampir 2km dari tempat kos saya di jalan bangka. Saya terus berjalan menerobos panas, polusi, macet sekuat tenaga saya lalui. Setiap pergi kemanapun saya selalu jalan kaki sejauh ini, transportasi yang saya gunakan hanya transjakarta yang murah meriah untuk mengirit biaya hidup yang kian menghimpit.

Di tengah jalan saya menyadari ada yang berbeda hari ini, saya membawa beban yang sangat berat, rasanya saya bisa pingsan jika terus melangkah, akhirnya saya memutuskan untuk mampir di kedai es untuk sekedar mengelap keringat dan memulihkan tenaga, lagi-lagi hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Selang beberapa menit kemudian saya mulai melanjutkan perjalanan, dengan peluh menetes akhirnya sampailah saya di halte Mampang Prapatan, melewati jembatan penyeberangan rasanya deretan gedung seolah melambai mengucapan selamat tinggal. Dalam hati penuh ambisi saya berjanji untuk kembali lagi suatu saat nanti jika Tuhan menghendaki, untuk mewujudkan mimpi yang tertunda ini.

Deretan gedung terlihat dari penyeberangan menuju halte Mampang Prapatan 


Ditemani deru mesin kendaraan yang lalu lalang, saya mulai menunggu bus Transjakarta untuk menuju Stasiun Senen. Beberapa saat kemudian datanglah bus yang ditunggu-tunggu, dengan girang sayapun berdiri dan menyiapkan barang-barang saya, tapi saya kemudian mengurungkan untuk naik bus ini karena penumpang penuh, dengan bawaan saya cukup berat dan merepotkan saya pikir akan menyulitkan untuk masuk dan keluar dalam bus yang penuh sesak ini.

Sayapun menunggu bus selanjutnya, dan ternyata sama saja penuhnya. Saya mencoba menunggu lagi untuk ketiga kalinya dan ternyata sama saja, karena keterbatasan waktu walaupun penuh sesak saya memberanikan diri untuk masuk. Meskipun dengan berdiri, saya sudah bersyukur bisa memasuki bus ini.

Seperti biasa jalan di kota Jakarta selalu macet setiap hari. saya mulai menyesali mengapa saya menghabiskan waktu di jalan dan halte, karena waktu terus berjalan cepat tak peduli bus ini bisa berjalan atau tidak. kemacetan selalu tak terhindari jika bertemu lampu lalu lintas yang padat. Meskipun seolah hanya merayap akhirnya bus pun tiba di halte transit untuk kemudian naik bus lagi menuju Stasiun Senen.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya datanglah juga bus yang ditunggu-tunggu, saya yakin bisa sampai tepat waktu dan bisa mampir sebentar ke toko oleh-oleh nantinya. sebelumnya saya belum ke Stasiun Senen melewati jalur ini, biasanya lewat jalur Harmoni. Saya lewat jalur ini karena saya pikir bisa lebih cepat sampai.

Halte demi halte terlewati dan halte yang akan dituju pun sudah di depan mata.

"Lho mas kok gak berhenti?" tanyaku.
"Mas nya mau kemana?" kernet balik bertanya.
"Ke stasiun senen mas."
"Harusnya turunnya di halte sebelumnya, kalau halte ini khusus dari arah harmoni." kernet menjelaskan.
"Yaudah saya turun di sini saja, boleh?" pintaku.
"Gak boleh mas, bisanya transit dulu ke harmoni baru balik ke sini lagi."
"Waktunya mepet banget mas, kalau halte terdekat bisa?" Sahutku, Nanti baliknya naik bus dari arah sebaliknya?"
"Gak bisa mas, ini haltenya satu arah. Dari harmoni ke stasiun pakai rute lain." Tampiknya dengan tegas.

Salah satu halte di sudut kota Jakarta 

Sempat terbersit untuk turun di halte terdekat saja kemudian naik ojek. Tapi saya pikir sama saja butuh waktu untuk mencari ojeknya, ya kalau ketemu, kalau tidak ketemu ya hangus tiket yang sudah dibooking jauh-jauh hari. Akhirnya saya pasrah saja dengan keadaan, kalau saya ketinggalan kereta berarti rezeki saya di sini, dan saya akan melanjutkan berjuang sendiri di sini.

Alhamdulillah untuk kali ini jalanan lancar tanpa kendala berarti, melewati Monas saya teringat semangat saya waktu pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, datang dengan segenggam modal tetapi sejuta impian, akankah saya benar-benar meninggalkan semua ini? Saya belum yakin dengan keputusan yang kuambil, ah biarlah waktu yang akan menentukan.


Flashback hari pertama mengunjungi Jakarta 


Walaupun saya berjuang sekuat tenaga untuk mencapai kereta, tetapi di dalam perjalanan ini saya mulai memikirkan rencana lain jika saja kemungkinan buruk terjadi. Saya pikir saya akan tinggal di Masjid untuk berteduh, rasanya cukup sulit untuk mendapat kosan dengan hanya beberapa lembar rupiah berwarna merah ini, belum lagi biaya makan sehari-hari.

Waktu menunjukkan pukul 15.40, halte Harmoni sudah terlihat di ujung aspal, walaupun tidak yakin setidaknya masih ada kemungkinan untuk sampai tepat waktu, dengan tersenyum saya menyiapkan barang-barang saya yang akan diturunkan.

Dengan cepat saya menginjakkan kaki ke halte paling ramai di jakarta ini. Dengan hati-hati saya melangkah dengan menundukkan pandangan supaya tidak jatuh di antara bus dan halte ini. Saya mulai menatap ke depan, seketika saya lemas melihat antrian manusia menggurita di dalam halte ini.

Masih mengantre di Halte 


Ya Tuhan, semua adalah tergantung keputusanmu, dan saya yakin takdirmu pasti baik. Mungkin ini cara Tuhan untuk menghalangi saya pulang, karena saya bisa sukses di sini, saya mulai menghibur diri untuk menghilangkan ketegangan yang memuncak.

Dengan langkah putus asa, saya mulai mengantri di barisan. Waktu menunjukkan pukul 15.45. Dalam hati bergumam, "Sampai kapan saya harus terjebak di halte yang panas ini Tuhan?." Saya menoleh kanan kiri, ternyata tidak hanya manusianya saja yang antri melainkan bus-bus juga turut mengantri memberi secercah harapan untuk saya.

Selang beberapa menit kemudian saya pun akhirnya bisa menginjakkan kaki di bus lagi, meskipun penumpang hampir penuh tapi saya bersyukur, jalan di koridor ini tidak ada macet. Tidak berselang lama akhirnya tibalah di halte senen. Tak peduli penuhnya orang di dalam bus, saya terobos semua dengan kedua tangan membawa beban yang berat ini.

15.54 saya menginjakkan kaki di halte senen. Sedari awal saya sudah menyadari jarak antara halte dan stasiun cukup jauh sekitar 500 meter sehingga saya berangkat lebih awal supaya bisa beristirahat di jalan, dan kalaupun masih ada waktu bisa untuk beli oleh-oleh di antara halte menuju stasiun.

Melompat ke tanah, saya lari sekuat tenaga beban berat seolah tak dirasa, tak peduli orang-orang melongo berkata apa. detak jantung, hembusan nafas, dan suara sepatu seolah seirama sama kencang nya. Sesampainya di stasiun saya menuju mesin tiket, karena tiket yang dibooking via online hanya mendapatkan kode yang bisa dimasukkan di mesin pencetak tiket yang berada di stasiun nanti, beruntungnya lagi kali ini juga sepi.

Saya lari lagi sekencang mungkin menuju peron di seberang gedung sana, yang jelas untuk melihat jam tangan pun tidak sempat. Tidak peduli kereta masih ada ataupun juga sudah ikut berlari, yang penting saya sudah berjuang sekuat tenaga.

Sesampainya di penukaran tiket, saya curiga kok sudah tidak ada yang antri?, "Apa keretanya sudah berangkat?." firasat saya. Dengan lesu saya menyodorkan tiket dan KTP untuk diperiksa petugas. Kemudian mereka  mempersilakan saya untuk menuju peron melewati jembatan bawah tanah.

Berlari melewati jembatan, Saya hampir berteriak kegirangan mendapati kereta masih belum beranjak, dengan penuh syukur saya menginjakkan kaki di kereta ini. Tanpa basa basi saya langsung duduk di bangku saya. Tiga orang yang sebangku dengan saya menatap penuh keheranan, mungkin karena melihat peluh keringat saya.

"Mas baru datang ya?." Tanya seseorang.
"Iya." Sahut saya.
"Kenapa?." Dia menginterogasi.
"Macet," kata itulah yang spontan terucap,  rasanya saya harus mengatur nafas terlebih dahulu untuk bisa menjelaskan semuanya.

Belum sempat mengelap peluh, kereta perlahan merayap meninggalkan ibukota. Meninggalkan semua harapan dan impian, bergerak membawa sejuta kenangan dan pengalaman yang tak ternilai harganya.




No comments:

Post a Comment