Thursday 17 November 2016

Bersikap Objektif

Objektif adalah berpikir mengenai keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Sedangkan subjektif adalah sebaliknya.

Contoh subjektif adalah, kita selalu menghina setiap kebijakan presiden Jokowi hanya karena kita tidak suka atau karena kita tidak memilihnya ketika pemilu. Sedangkan bersifat objektif adalah kita mengapresiasi kebijakan Jokowi yang bagus, dan mengkritisi kebijakan bapak Jokowi yang menurut kita kurang tepat.

Kelihatannya mudah bukan? Tapi kenyataan nya sangat sedikit yang bisa berpikir objektif, menurut sumber yang saya baca, sekitar 95 persen manusia berpikir subjektif, sedangkan sisanya sudah mampu berpikir objektif. Anda bagian mana? Coba kita koreksi diri kita masing-masing.

Di era internet dan sosial media sekarang ini informasi mudah tersebar kemana-kemana.  dan internet bisa mencerahkan kita tetapi juga bisa menjerumuskan kita. Salah satu hal yang menurut saya bisa membantu kita untuk bersikap objektif adalah dengan cara selalu mencari informasi dari dua sudut pandang yang berbeda atau each side of the story. Jangan pernah menerima informasi hanya dari sumber tertentu tanpa mencari klarifikasi dari sumber lainnya.

Contoh: Di facebook kita disamping masuk dalam grup atau komunitas yang Pro Palestina, kita juga harus masuk dalam grup Pro Israel. Sehingga kita berpikir jernih dan menemukan titik temu dari masalah kedua belah pihak. Jika Anda hanya masuk dalam salah satu grup maka justru akan memperkeruh suasana. Jika sebelumnya yang pihak yang bertikai adalah 10 juta orang, maka sekarang menjadi 10 juta lebih satu orang ditambah anda.

Contoh lain adalah Jika Anda masuk dalam grup Anti Ahok, Anda juga harus masuk ke dalam grup yang pro Ahok, karena pastinya salah satu grup selalu membicarakan keburukan Ahok, sementara yang lainnya selalu hanya membicarakan kebaikan Ahok. Dengan masuknya Anda ke kedua belah grup, Anda sudah selangkah untuk berfikir jernih dan bersikap objektif. Karena jika Anda hanya masuk salah satu grup facebook sudah pasti Anda memasuki grup yang Anda sukai saja.

Saturday 12 November 2016

Mengejar Gerbong Terakhir

Hari ini tibalah saatnya untuk meninggalkan kota Jakarta ini, walaupun impian saya untuk menaklukkannya belum tercapai, toh suatu saat aku bisa kembali lagi ke pangkuan ibukota untuk menaklukkan ambisi yang tertunda. Setidaknya yang saya dapatkan empat puluh hari di sini  jauh lebih banyak daripada apa yang saya keluarkan.

Saya mulai mengemas barang-barang yang akan saya bawa nanti, sepertinya sudah tidak ada ruang lagi di dalam kedua tasku ini, terpaksa sebagian yang tidak perlu saya tinggalkan di sini. Kemudian dengan berat hati saya melangkahkan kaki menuju rumah ibu kos untuk menyerahkan kunci. Sementara tiket sudah dibooking jauh hari, jadwalnya pukul 16.00.

Saya mulai berjalan menelusuri aspal ibukota pukul 14.00. Dengan kedua tas yang sangat berat ini saya berjalan kaki ditemani teriknya mentari menuju halte terdekat di mampang prapatan, jaraknya hampir 2km dari tempat kos saya di jalan bangka. Saya terus berjalan menerobos panas, polusi, macet sekuat tenaga saya lalui. Setiap pergi kemanapun saya selalu jalan kaki sejauh ini, transportasi yang saya gunakan hanya transjakarta yang murah meriah untuk mengirit biaya hidup yang kian menghimpit.

Di tengah jalan saya menyadari ada yang berbeda hari ini, saya membawa beban yang sangat berat, rasanya saya bisa pingsan jika terus melangkah, akhirnya saya memutuskan untuk mampir di kedai es untuk sekedar mengelap keringat dan memulihkan tenaga, lagi-lagi hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Selang beberapa menit kemudian saya mulai melanjutkan perjalanan, dengan peluh menetes akhirnya sampailah saya di halte Mampang Prapatan, melewati jembatan penyeberangan rasanya deretan gedung seolah melambai mengucapan selamat tinggal. Dalam hati penuh ambisi saya berjanji untuk kembali lagi suatu saat nanti jika Tuhan menghendaki, untuk mewujudkan mimpi yang tertunda ini.

Deretan gedung terlihat dari penyeberangan menuju halte Mampang Prapatan 


Ditemani deru mesin kendaraan yang lalu lalang, saya mulai menunggu bus Transjakarta untuk menuju Stasiun Senen. Beberapa saat kemudian datanglah bus yang ditunggu-tunggu, dengan girang sayapun berdiri dan menyiapkan barang-barang saya, tapi saya kemudian mengurungkan untuk naik bus ini karena penumpang penuh, dengan bawaan saya cukup berat dan merepotkan saya pikir akan menyulitkan untuk masuk dan keluar dalam bus yang penuh sesak ini.

Sayapun menunggu bus selanjutnya, dan ternyata sama saja penuhnya. Saya mencoba menunggu lagi untuk ketiga kalinya dan ternyata sama saja, karena keterbatasan waktu walaupun penuh sesak saya memberanikan diri untuk masuk. Meskipun dengan berdiri, saya sudah bersyukur bisa memasuki bus ini.

Seperti biasa jalan di kota Jakarta selalu macet setiap hari. saya mulai menyesali mengapa saya menghabiskan waktu di jalan dan halte, karena waktu terus berjalan cepat tak peduli bus ini bisa berjalan atau tidak. kemacetan selalu tak terhindari jika bertemu lampu lalu lintas yang padat. Meskipun seolah hanya merayap akhirnya bus pun tiba di halte transit untuk kemudian naik bus lagi menuju Stasiun Senen.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya datanglah juga bus yang ditunggu-tunggu, saya yakin bisa sampai tepat waktu dan bisa mampir sebentar ke toko oleh-oleh nantinya. sebelumnya saya belum ke Stasiun Senen melewati jalur ini, biasanya lewat jalur Harmoni. Saya lewat jalur ini karena saya pikir bisa lebih cepat sampai.

Halte demi halte terlewati dan halte yang akan dituju pun sudah di depan mata.

"Lho mas kok gak berhenti?" tanyaku.
"Mas nya mau kemana?" kernet balik bertanya.
"Ke stasiun senen mas."
"Harusnya turunnya di halte sebelumnya, kalau halte ini khusus dari arah harmoni." kernet menjelaskan.
"Yaudah saya turun di sini saja, boleh?" pintaku.
"Gak boleh mas, bisanya transit dulu ke harmoni baru balik ke sini lagi."
"Waktunya mepet banget mas, kalau halte terdekat bisa?" Sahutku, Nanti baliknya naik bus dari arah sebaliknya?"
"Gak bisa mas, ini haltenya satu arah. Dari harmoni ke stasiun pakai rute lain." Tampiknya dengan tegas.

Salah satu halte di sudut kota Jakarta 

Sempat terbersit untuk turun di halte terdekat saja kemudian naik ojek. Tapi saya pikir sama saja butuh waktu untuk mencari ojeknya, ya kalau ketemu, kalau tidak ketemu ya hangus tiket yang sudah dibooking jauh-jauh hari. Akhirnya saya pasrah saja dengan keadaan, kalau saya ketinggalan kereta berarti rezeki saya di sini, dan saya akan melanjutkan berjuang sendiri di sini.

Alhamdulillah untuk kali ini jalanan lancar tanpa kendala berarti, melewati Monas saya teringat semangat saya waktu pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, datang dengan segenggam modal tetapi sejuta impian, akankah saya benar-benar meninggalkan semua ini? Saya belum yakin dengan keputusan yang kuambil, ah biarlah waktu yang akan menentukan.


Flashback hari pertama mengunjungi Jakarta 


Walaupun saya berjuang sekuat tenaga untuk mencapai kereta, tetapi di dalam perjalanan ini saya mulai memikirkan rencana lain jika saja kemungkinan buruk terjadi. Saya pikir saya akan tinggal di Masjid untuk berteduh, rasanya cukup sulit untuk mendapat kosan dengan hanya beberapa lembar rupiah berwarna merah ini, belum lagi biaya makan sehari-hari.

Waktu menunjukkan pukul 15.40, halte Harmoni sudah terlihat di ujung aspal, walaupun tidak yakin setidaknya masih ada kemungkinan untuk sampai tepat waktu, dengan tersenyum saya menyiapkan barang-barang saya yang akan diturunkan.

Dengan cepat saya menginjakkan kaki ke halte paling ramai di jakarta ini. Dengan hati-hati saya melangkah dengan menundukkan pandangan supaya tidak jatuh di antara bus dan halte ini. Saya mulai menatap ke depan, seketika saya lemas melihat antrian manusia menggurita di dalam halte ini.

Masih mengantre di Halte 


Ya Tuhan, semua adalah tergantung keputusanmu, dan saya yakin takdirmu pasti baik. Mungkin ini cara Tuhan untuk menghalangi saya pulang, karena saya bisa sukses di sini, saya mulai menghibur diri untuk menghilangkan ketegangan yang memuncak.

Dengan langkah putus asa, saya mulai mengantri di barisan. Waktu menunjukkan pukul 15.45. Dalam hati bergumam, "Sampai kapan saya harus terjebak di halte yang panas ini Tuhan?." Saya menoleh kanan kiri, ternyata tidak hanya manusianya saja yang antri melainkan bus-bus juga turut mengantri memberi secercah harapan untuk saya.

Selang beberapa menit kemudian saya pun akhirnya bisa menginjakkan kaki di bus lagi, meskipun penumpang hampir penuh tapi saya bersyukur, jalan di koridor ini tidak ada macet. Tidak berselang lama akhirnya tibalah di halte senen. Tak peduli penuhnya orang di dalam bus, saya terobos semua dengan kedua tangan membawa beban yang berat ini.

15.54 saya menginjakkan kaki di halte senen. Sedari awal saya sudah menyadari jarak antara halte dan stasiun cukup jauh sekitar 500 meter sehingga saya berangkat lebih awal supaya bisa beristirahat di jalan, dan kalaupun masih ada waktu bisa untuk beli oleh-oleh di antara halte menuju stasiun.

Melompat ke tanah, saya lari sekuat tenaga beban berat seolah tak dirasa, tak peduli orang-orang melongo berkata apa. detak jantung, hembusan nafas, dan suara sepatu seolah seirama sama kencang nya. Sesampainya di stasiun saya menuju mesin tiket, karena tiket yang dibooking via online hanya mendapatkan kode yang bisa dimasukkan di mesin pencetak tiket yang berada di stasiun nanti, beruntungnya lagi kali ini juga sepi.

Saya lari lagi sekencang mungkin menuju peron di seberang gedung sana, yang jelas untuk melihat jam tangan pun tidak sempat. Tidak peduli kereta masih ada ataupun juga sudah ikut berlari, yang penting saya sudah berjuang sekuat tenaga.

Sesampainya di penukaran tiket, saya curiga kok sudah tidak ada yang antri?, "Apa keretanya sudah berangkat?." firasat saya. Dengan lesu saya menyodorkan tiket dan KTP untuk diperiksa petugas. Kemudian mereka  mempersilakan saya untuk menuju peron melewati jembatan bawah tanah.

Berlari melewati jembatan, Saya hampir berteriak kegirangan mendapati kereta masih belum beranjak, dengan penuh syukur saya menginjakkan kaki di kereta ini. Tanpa basa basi saya langsung duduk di bangku saya. Tiga orang yang sebangku dengan saya menatap penuh keheranan, mungkin karena melihat peluh keringat saya.

"Mas baru datang ya?." Tanya seseorang.
"Iya." Sahut saya.
"Kenapa?." Dia menginterogasi.
"Macet," kata itulah yang spontan terucap,  rasanya saya harus mengatur nafas terlebih dahulu untuk bisa menjelaskan semuanya.

Belum sempat mengelap peluh, kereta perlahan merayap meninggalkan ibukota. Meninggalkan semua harapan dan impian, bergerak membawa sejuta kenangan dan pengalaman yang tak ternilai harganya.




Thursday 10 November 2016

Seandainya Magetan yang Jadi Ibukota

Seandainya Magetan yang jadi ibukota Indonesia pada tahun 1945, kira-kira apa yang terjadi di Magetan saat ini? Ada beberapa dampak positif dan negatif jika itu terjadi, simak ulasannya berikut ini. 



Gedung Tinggi

Gedung-gedung tinggi akan membentang dari Magetan ke Maospati, Tidak ada pemandangan sawah hijau yang menghampar seperti sekarang ini. Yang ada hanyalah hutan beton yang menghalangi semilirnya angin. Apakah itu positif atau negatif? Tergantung darimana sudut pandang kita. 



Pemandangan dari Gunung Lawu

Pemandangan landskap kota Magetan akan bisa dinikmati dari Jalan Tembus dan Sarangan, tidak seperti Jakarta yang jauh dari pegunungan. begini kira-kira ilustrasinya. Indah bukan?  






Telaga Saranga

Sarangan sebenarnya tidak kalah indahnya dengan Puncak Bogor, maupun Batu Malang, sebagaimana prinsip ekonomi sebagus apapun barangnya, kalau pasarnya sepi ya siapa yang datang ke toko? Sayangnya Sarangan tidak terletak di kota besar, sehingga kurang begitu populer di Indonesia. Nah jika saja Magetan yang jadi ibukota otomatis akan mungkin saat ini menjadi salah satu destinasi populer di Indonesia. Dan tentu saja setiap malam minggu macet, seperti yang terjadi di Puncak Bogor sekarang ini. 


Udara

Jika tidak dikelola dengan baik, mungkin akan sama nasibnya dengan Jakarta dan kota besar lainnya yang mana masalah utamanya salah satunya adalah polusi udara yang parah, Magetan dan Sarangan tidak akan sesejuk sekarang ini. 



Macet

Masalah lain dari kota urban umumnya adalah macet, mungkin dari Magetan ke Maospati membutuhkan lebih dari satu jam untuk sampai. Mungkin untuk mengatasi ini akan dibangun MRT dari Magetan ke Madiun untuk mengurai kemacetan. Keren kan? Bayangkan. 


Pawitandirogo

Bukan jabodetabek, Melainkan PAWITANDIROGO yang menjadi Megapolitan, dan menjelma menjadi salah satu daerah urban terbesar di dunia. Apa yang terjadi? Magetan sumpek. 


Mahalnya Biaya Hidup

Seiring membludaknya gelombangnya urbanisasi ke Ibukota, menjadikan barang-barang menjadi mahal terutama makanan, mungkin nasi pecel Rp. 2500 + tempe tidak ada ceritanya, alias hanya mitos. 



Pacitan

Bukan Ancol, Melainkan Pacitan akan menjadi destinasi pantai populer di Indonesia, pembangunan pariwisata gencar dimana-mana untuk memenuhi permintaan masyarakat urban untuk menghilangkan stress dari bising nya kota. 


Ekonomi Jatim

Dengan Magetan sebagai ibukota, dan Surabaya sebagai kota terbesar kedua, besar kemungkinan menjadikan Jatim sebagai pusat ekonomi dan bisnis di Indonesia, Segitiga emas raksasa yang kokoh antara 3 kota besar Magetan, Surabaya, dan Malang. 







Wednesday 9 November 2016

Hantu, Apakah Benar-benar Ada?

Dahulu saya sangat-sangat penakut, pergi ke masjid malam hari saja tidak berani, bahkan ke kamar mandi rumah sendiri pun tidak berani, dan ini terjadi juga dengan adik-adik saya sekarang, sehingga mendorong saya untuk menuliskan hal ini. Mungkin saya jadi penakut karena dari kecil sudah dicekoki cerita-cerita mistis, film horor, bahkan oleh orang tua sendiri, seperti kalau nakal akan diganggu setan, dll. sehingga tertancap dalam pikiran bawah.

Setelah dewasa saya mulai bisa berfikir rasional, meskipun hantu itu masih belum bisa keluar dari pikiran bawah sadar saya, saya mulai tidak memercayai hantu, karena selama ini saya tidak pernah meihat hantu, dan tidak ada bukti ilmiah akan adanya hantu walaupun saya sebagai orang islam percaya dengan malaikat dan setan, tetapi hidup di alam lain yang tidak mungkin wujud di alam kita.

Ilmuan sudah memperdebatkan dan bahkan melakukan penelitian akan adanya hantu ini, yang sederhananya hantu itu hanya lah ilusi saja, buktinya semakin canggihnya teknologi, tidak ada yang berhasil kejepret kamera ketika menampakkan diri? Gak ada yang terekam CCTV yang sudah tersebar di bumi ini?

Dan hantu itu sangat lekat dengan kebudayaan masyarakat setempat, sebagai contoh kita hidup di Indonesia cuma mendengar cerita-cerita tentang hantu lokal seperti pocong, genderuwo, dll. jadi ilusinya hanya hantu lokal saja yang nampak. Hal ini setiap negara berbeda-beda jenis hantunya, tergantung kebudayaan masyarakat setempat. Memangnya tidak ada satu hantu pun yang imigrasi? :-D Kan mudah saja, kalau mau tinggal memakai jurus menghilang dan berpindah tempat seperti di film-film.

Kenapa legenda hantu masih lestari hingga abad milenium ini? Karena selama ini cerita dan legenda yang populer hanyalah hantu, hantu, dan hantu. saya tidak pernah dengar sekalipun orang ketemu malaikat di tempat ini atau muncul di sini. Karena film tentang malaikat gak ada? Mungkin.

Saya sekarang bahkan menertawakan kalau orang cerita merasa ketemu hantu. yang sering saya dengar adalah tentang orang lewat tempat seram dengan motor, kemudian orang tersebut merasa seolah-olah ada yang membonceng di belakang.  kemudian saya tanya, coba besok lewat lagi ke tempat yang sama berdua, jadi merasa boncengan bertiga nggak? :D saya pastikan tidak, karena perasaan takut sudah tidak ada lagi, sehingga tidak ada ilusi tentang hantu.

Kesimpulan saya, hantu hanyalah ilusi yang didramatisir, sehingga menghasilkan cerita yang indah, dan keindahan dan keasyikan akan cerita hantu itulah yang semakin mempercepat penyebaran cerita tersebut. Bagaimana menurut Anda? Apakah masih percaya hantu?

Wallahu a'lam..

Thursday 3 November 2016

Ahok Berhak Memimpin Jakarta?

Saya sebenarnya agak males ngomongin politik, tapi terpaksa saya menulis ini  karena tensi panasnya perkembangan politik di tanah air akhir-akhir ini, terutama setelah Ahok mencatut ayat Qur'an segala di kepulauan seribu, saya mencoba menulis uneg-uneg saya sebagai orang awam yang mungkin memberi perspektif lain dalam kasus ini.

Saya pribadi sebenarnya suka dengan kinerja Ahok yang memimpin Jakarta, akan tetapi saya tidak suka dengan pribadi Ahok yang terkesan angkuh dengan cara ngomong nya yang kasar, tapi oke lah bisa dimaklumi, mungkin itu memang karakter dia, dan dia memang tidak  bisa  dinilai dari kacamata saya yang pure jawa yang mungkin kebudayaan dan kebiasaannya berbeda dengan tionghoa. Jadi saya tidak pernah mempermasalahkan dia karena Tionghoa ataupun karena non muslim, karakter dia yang arogan pun masih bisa saya maklumi.

Saya mulai tidak suka dengan Ahok setelah dia membawa Al-Quran yang notabene kitab yang disucikan umat Islam, saya paham betul pemikiran Islam garis keras bagaimana, seandainya mereka ini di pakistan atau negara-negara konservatif lainnya mungkin sekarang ini dia tinggal nama saja. Untungnya dia hidup di Indonesia yang Islamnya mayoritas  moderat, bahkan paling moderat  nomor 2 di dunia setelah Turki.

Intinya bukan kapasitas Ahok untuk mengomentari atau bahkan menafsiri Al-qur'an,  apalagi sudah berani menjudge ulama membohongi pakai Al-qur'an, saya bilang sudah keterlaluan. sebenarnya saya pribadi tidak memakai tafsir itu sebagai pemimpin, kalaupun pemimpin pasti ayat itu ada konteksnya, akan tetapi saya menghormati tafsir lain, karena Islam itu luas, tidak sesempit otak kita.

Kita ini hidup di negara demokrasi, dan jika kita mengacu pada nenek moyang demokrasi, di Amerika masih menggunakan isu sara, dengan mengatakan Obama muslim lah, Negro lah dll. Bahkan sampai sekarang pun masih ada rakyat amerika yang  percaya kalau obama muslim. Bukan sebagai pembenaran kita untuk rasis, akan tetapi biar kita tahu dan tidak menjelek-jelekkan bangsa sendiri, karena yang Rasis dan Sara itu bukan hanya Indonesia dan Islam saja.

Oke, kita balik lagi ke Indonesia, sesuai konstitusi Ahok berhak untuk menjadi gubernur, bahkan presiden pun dia punya hak. Akan tetapi rakyat juga punya hak untuk tidak memilihnya. Gitu aja kok repot!

Dan saran saya untuk pemerintah menghadapi demo 4 november besok, sebaiknya  jangan sampai menggunakan kekerasan sehingga memberi kesan aparat itu musuh Islam, sehingga memperkeruh keadaan karena konflik bisa melebar kemana-mana. Saya yakin tidak akan efektif jika menggunakan kekerasan, orang Islam itu tidak takut mati, sementara apalagi yang lebih menakutkan daripada kematian?